Memahami dan Mengatasi Kekerasan Gender di Sekolah dari Perspektif Bimbingan dan Konseling

Sabtu (24/11) Kita sering mendengar istilah kekerasan, atau bahkan menyaksikannya. Tapi, apakah sesreing itu pula mendengat istilah “kekerasan berbasis gender” yang disingkat KBG ? Mungkin tidak. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa belum banyak dari kita bahkan para guru kita memahami hal ini. “Padahal fakta menunjukkan bahwa Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merupakan Ancaman Bagi Remaja” buka Rita Pranawati, MA, wakil ketua KPAI dalam Seminar Nasional Memahami dan Mengatasi Kekerasan Gender di Sekolah dari Perspektif Bimbingan dan Konseling.

Lebih lanjut Rita menambahkan bahwa ada beberapa bentuk kekerasan berbasis gender, antara lain seksual, fisik, praktek tradisional yang membahayakan, sosial ekonomi dan emosional dan psikologis Dari definisi di atas, kita melihat bahwa KBG adalah istilah umum untuk banyak jenis kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas. Yang menarik dari definisi di atas adalah ia memasukkan praktek tradisional yang membahayakan. Dalam penjelasan dikatakan bahwa praktek ini menyangkut praktek seperti sunat perempuan (female genital mutilation), perkawinan paksa (forced or arranged marriage) dan perkawinan di usia dini (early marriage).

Hal ini diamini oleh Lisa Octavia bahwa ada pendampingan hukum dalam kasus ini. Wakil Direktur dari Rifka Annisa, Organisasi non pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan ini menjelaskan bahwa Pendampingan hukum dapat diberikan kepada perempuan dan anak korban kekerasan dalam penyelesaian masalah, khususnya proses hukum. Pada kasus-kasus pidana dilakukan pendampingan langsung, sedangkan pada kasus perdata pendampingan yang dilakukan bersifat tidak langsung.

Dalam segi Pendekatan Konseling Berperspektif Feminis, Dr. Sigit Sanyata, M.Pd mengungkapkan bahwa isu kesetaraan tidak dipahami sebagai upaya mendekonstruksi relasi gender tetapi sebagai bentuk diperolehnya kesempatan yang setara. Kesetaraan Gender masih mempertimbangkan peran dan fungsi yang melekat secara kodrati. Menurut Sigit, Pengarusutamaan Gender adalah Prinsip kesetaraan dalam hal akses didasarkan pada kemampuan individu untuk mengakses pengetahuan, kuasa (power), sumber daya (resources) dan standar layanan yang penting dalam aktualisasi diri dan keteguhan diri.

Upaya untuk memberikan pemahaman dan kesadaran perlu dirancang oleh konselor dalam sebuah program yang menekankan pada paradigma kesetaraan gender, di samping seorang konselor harus menampilkan diri sebagai figur yang sensitif gender. Strategi yang tidak kalah pentingnya adalah mengintegrasikan kesetaraan gender dalam kurikulum sehingga memerlukan dukungan sistemik untuk merumuskan proses pembelajaran yang sensitif gender. Integrasi nilai keadilan sosial dalam bidang pendidikan dapat dilakukan oleh konselor pendidikan melalui membangun kesadaran, memfasilitasi perubahan paradigma, mengimplementasikan dalam kurikulum, menavigasi perubahan, fokus pada kelompok. (ant)